December 2011

Thursday, 29 December 2011

-About Feeling- A short Story


Hari sudah mulai petang. Matahari pun kian berangsur kembali ke peraduannya. Sama seperti gadis ini yang mulai beringsut kembali kedalam kamarnya. Langit memang sedikit gelap, nampaknya hujan akan mengguyur kota jakarta malam ini. Setelah menutup jendela balkonnya, segera ia baringkan tubuh kurusnya di kasur yang bergambar stich. Matanya memejam dengan sedikit pijatan dibagian pelipis oleh jarinya, sedikit menghilangkan penat dan juga lelah yang menggelayutinya sepanjang hari ini. Tapi jika dipikirkan lagi, bukankah sepanjang hari tadi ia tidak melakukan kegiatahn apapun kan? Mengapa bisa selelah ini rasanya?.


"ahh masa bodo deh! Palingan nih penyakit makin parah" gumam gadis tadi. Merasa kepalanya mulai meringan, dirubahnya posisi tubuhya tadi menjadi duduk di atas kasurnya, memeluk lututnya dengan mata yang terus menatap kelangit-langit kamarnya. Tidak ada yang menarik memang bagi orang lain. Tapi entah mengapa kali ini langit kamarnya begitu menarik dilihat dibandingkan harus memikirkan ketika ia terbangun esok pagi yang jelas-jelas akan menjadi hari yang sangat membosankn -lagi-. Hah mengingat hal itu, membuatnya menghela nafas bosan. Apa harus seperti ini setiap harinya?, apa ia tidak pantas melakukan hal-hal yang menjadi rutinitas remaja seusianya yang menikmati nakalnya masa remaja. Bagaimana rasanya mempunyai banyak teman, rasanya mempunyai pacar dan bagaimana keadaan diluar sana? Apakah indah? Apakah tidak akan membosankan seperti dikerangkanya –rumah- ini? Bagaimana? Bagaimana? Dan bagaimana?.
Mungkin itu yang selalu ia ucapkan ketika mengingat bagaimana ia hidup seperti ini dibandingkan dengan hidupnya jika bebas. Mewah? Tentu. Bagi pelayan-pelayan dirumahnya ia sangat diistimewakan. Tapi apa ke2 orang tuanya beranggapan seperti itu?? Mungkin saja. Buktinya, ia ingin bermain dihalaman rumah saja harus ditemani pelayan-pelayan! Menyenangkan, tapi sekaligus memuakan! Jika boleh memilih, ia akan dengan senang hati dilahirkan dikeluarga yang berderajat sedang bahkan rendah. Tapi ia bisa menikmati hidupnya, merasakan bagaimana ia diperlakukan diluar sana. Akankah sama dengan apa yang dilakukan oleh pelayan-pelayan dirumahnya?. Atau bahkan memilih mati? Jika memang perlu seperti itu, apa boleh buat.


"aaah ify!! Apa yg barusan kamu pikirin sih? Masa iya milih mati dari pada harus hidup kayak gini? Sangat lucu sekali" gadis itu -ify- meracau tidak jelas. Bodoh!!


"harusnya aku bersyukur masih punya nyawa. Ngapain mau mati coba?" gumamnya lagi, matanya menatap sayu kesetiap barang yang teronggok rapi di kamarnya.


"yaaah walaupun hidupku harus menyebalkan seperti ini" dengusnya. Perlahan cairan bening itu meluncur membentuk sungai kecil dipipi tirusnya. Apa ini puncak klimaks kesabarannya? Apa iya ini memang harus segera diakhiri?


"sebentar lagi juga aku bakal matikan? Haha" selanjutnya ia tertawa miris. Mungkin malam ini ia akan membiarkan sungai kecil itu mengalir semaunya. Rasanya memang lelah jika harus berpura-pura tegar lebih lama lagi.

***

Pagi yang indah nan cerah setelah hujan yang semalam mengguyur kota jakarta. Sibulat kuning nampaknya sudah segar kembali dan siap menjalankan tugasnya sebagai dewa surya untuk hari ini.


"heeiiii rioooo! Lo mau kemanaaa lagi??? Jangan pake mobil gue! Lo juga punya mobil sendiri kan?" teriak seorang pria dari dalam sebuah rumah, cukup besar dengan halaman yang cukup luas, dan gerbang yang menjulang tinggi. Di pinggir gerbang itu tertera sebuah huruf yang nampaknya nama marga keluarga pemilik rumah besar ini. H untuk Haling.


"gue cuma minjem sebentar!! Gak bakal lamaa!! gue janji!" sahutan rio menghilang dari pendengaran pria tadi disusul dengan deru laju mobilnya yg naas karena ia gagal menghentikan aksi adiknya -rio- tadi. Ia menghela nafas, ini memang bukan sekali - dua kali. Bahkan sudah menjadi kebiasaan setiap harinya.


"awas aja kalau dia balik, bakal gue tagih uang bensinnya-_-" gerutunya, kemudian berlalu menuju ruang makan untuk sarapan.


"bi, papa mana?"


"pagi den gabriel. mmh, tuan sudah berangkat pagi-pagi sekali"


"mau kemana lagi dia bi?"


"kata tuan, beliau akan pergi ke australia untuk urusan bisnis"


"berapa lama?"


"katanya satu minggu den”


Gabriel menatap priringnya kosong sebentar. Setelah memastikan tuan mudanya ini selesai bertanya, bi sum pun memilih kembali kebelakang menyelesaikan pekerjaannya.


“permisi den”


Gabriel mengangguk saja.


"kapan dia akan dirumah? Tidak bosan apa keluar negeri terus?" gabriel mendengus sebal. Tapi hanya sebentar, setelah itu ia segera menyantap menu sarapannya pagi ini. Roti selai kacang.

***

Lagu Make it mine dari Jason Mraz berdentum di dalam mobil sport merah ini. Diiringi gerakan kepala kekanan dan kekiri sang pengemudi. Sesekali ikut menyanyi dengan sebelah tangan yang diketukkan pada stir mobilnya.


"haha, kena lagi lo yel. Asik juga tiap hari pake Mobil gabriel. Gratis bensin sih! Haha" rio -pengemudi tadi- tertawa pelan melihat ekspresi pasrah gabriel yang selalu saja gagal mencegahnya untuk tak memakai mobil gabriel lagi.


"hari ini kemana yah?" rio berpikir keras. Setelah mendapat ilham ia akan pergi kemana. Segera saja ia pacu mobilnya -tepatnya mobil gabriel- dengan kecepatan lebih tinggi lagi.

***

Hari ini tidak ada yang istimewa yang dilakukan ify. Hanya duduk dikamar, menonton tv atau dvd kesukaannya. Seperti ini lagi. Setiap hari. Tentu bosan.
Karena bosan, kakinya mulai beranjak kearah jendela balkonnya dan membukanya menghirup udara disekitar yang memang masih segar. Hanya ini yang selalu membuatnya nyaman berada dirumah –tepatnya dikamarnya- Yah karena ini masih pukul 7 pagi dihari libur panjang.

Ify menengok kebelang ketika sebuah ketukan pelan dipintunya disusul dengan suara yang pasti ify tau pemiliknya siapa.


"fy!! Turun dong. kita sarapan yuk"


"sebentar lagi!"


"yaudah, tapi boleh kakak masuk kan fy?"


"yaah! Masuk aja. Enggak dikunci"


Tak lama, terlihat seseorang yang menyembulkan kepalanya. Siapa lagi jika bukan kakak semata wayang ify. Alvin jonathan. Alvin tersenyum hangat, setelah itu menutup pintunya dan berjalan perlahan kearah adik semata wayangnya. Dilihatnya ify kembali memandang kearah jendela. Ditatapnya punggung kecil adiknya dengan sayu. Apa bisa ia menjadi kakak yang baik untuk ify?

alvin menghela nafas sebelum memulai pembicaraan diantara mereka. Beberapa detik, suasana hening menyelimuti mereka. Angin semilir di pagi hari ini nampaknya masih terasa dingin. Mungkin akibat hujan semalam. Menyisakan bau tanah yang khas juga embun yang bergelayut manja ditepi dedaunan.


"fy, setelah sarapan, kamu mau ikut sama kakak gak?" ify melirik alvin dengan kening berkerut. Heran, ada angin apa kakaknya ini mengajaknya? Tumben.


"kemana?"


"kita jalan-jalan sepuasnya diluar sana. Mau?" alvin menatap lembut mata adiknya, tersenyum hangat sedangkan sebelah tangannya mengusap lembut rambut adiknya. Mungkin hanya ini yang bisa ia lakukan untuk ify.


"beneran? Kakak gak bohong kan, mau ajak aku jalan-jalan?" mata ify berbinar, senyumnya mengembang mendengar itu. Ini saat yang ditunggu2nya. Melihat dunia luar. Bermain sepuasnya. Bertegur sapa dengan orang lain dengan sifat mereka yang bermacam-macam. Ini adalah mimpinya.


"iyaa. Mau kan?"


"tentu! Aku mau. Tapi bagaimana dengan mama dan ayah?" air muka ify berubah murung memikirkan bagaimana mama dan ayahnya yang akan marah besar, jika tau ide gila kakaknya ini.


"tenang aja. Mereka lagi gak ada dirumah kok. Mereka akan pulang terlambat hari ini. Katanya ada urusan bisnis beberapa jam kedepan sampai pukul 9 malam"


"asik!!! Makasihh kak alvinnn" dengan gerakan cepat tubuh ify menghambur kepelukan alvin.


"tapi, kamu sarapan dulu! Ayo tuan putri, kita sarapan :D" seru alvin dengan gaya superman dengan sebelah tangan diarahkan keatas.


"ayoooo!! Tapi kak, gendong aku yaah? :D" ify tersenyum manis ketika alvin berjongkok dihadapannya, dengan senang hati ify menaiki punggung alvin. Mengalungkan tangannya dileher alvin. Dengan senyum, alvin berjalan kearah pintu menuju lantai bawah. Ruang makan. Dengan menggendong ify. Inilah saat2 yang paling ia rindukan. Sangat ia rindukan sejak beberapa tahun lalu.
Mereka sampai diruang makan. Alvin berjongkok untuk menurunkan ify. Semua pelayan yang berada disekitar ruang makan menatap mereka dengan haru. Senang sekali melihat nona mudanya kembali tersenyum.


"makasihh kakak!! Cupp" sebuah kecupan terimakasih dari ify mendarat mulus dipipi kiri alvin. Sedangkan pelakunya sudah duduk manis di meja makan. Alvin hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan adiknya itu. Ternyata ify memang belum benar-benar dewasa.
Selanjutnya, mereka sarapan dengan keadaan diam.

***

Tak membutuhkan waktu berjam-jam, hanya 25 menit, akhirnya rio sampai juga ditempat tujuannya. Tempat biliar *benergaktuh?*. Lama sekali ia tak bermain biliar. Olahraga kesukaannya sewaktu SMP. Katanya, olahraga biliar ini sangat bagus untuk daya konsentrasi. Biasanya sepulang sekolah ia selalu ketempat ini bersama kakaknya -gabriel- dan sahabat-sahabatnya.

Mobil sportnya ia parkirkan dekat mobil pengunjung lain yang berjejer di depan bangunan minimalis itu. Tubuh jangkungnya keluar dari mobil. Satu kata yang pasti dipikirkan oleh gadis-gadis yang melihatnya. Cool. Nampaknya title itu memang sangat tepat diberikan untuk rio. Dengan kulitnya yang hitam manis, ditambah dengan postur tubuh yang sangat ideal. mengenakan kaos putih dibalut dengan kemeja kotak-kotak hijau tosca-hitam yang digulung sebatas siku, tidak dikancingkan. Jeans hitam, dan sepatu kets putih kesukaannya. Juga rambutnya yang bergaya spike dibiarkan sedikit acak-acakan. Lengkap sudah penampilannya. Rio menutup pintu mobilnya. Membuka kacamata hitam yang membingkai mata elangnya. Dengan santainya ia berjalan kedalam bangunan itu. Sesampainya didalam, rio disambut hangat oleh teman-temannya semasa SMP dan ada juga beberapa teman SMAnya yang memang sering sekali kesini.


"woy! Rio.. Akhirnya lo kesini juga. Apa kabar bro?" sebuah tepukan dipundak rio membuatnya meringis dan menatap kesal sipelaku. Sedangkan cakka -sipelaku tadi- hanya meringis dengan tangan yang menggaruk tengkuknya.


"ck. Kebiasaan banget sih lo cak!" mendengar kata -cak- membuat cakka manyun. Ia tidak suka dipanggil cak. Kesannya kayak manggil cicak aja-,-


"lo tuh yang kebiasaan! Gue kan udah bilang, jangan panggil gue cak! Gimana sih lo"


"sory deh sory. Abis elo nya juga sih yang rese. Ngapain pake mukul pundak gue segala"


"itu bukan mukul! Tapi nepuk. Segitu aja sakit! Lebay lo ah" ejek cakka. Ditonjoknya pelan lengan rio sambil mencibir.


"yee, biarin aja :p"


"ah lupain aja deh. Oh iya apa kabar lo? Baru juga beberapa hari libur, lo udah sombong aja sama gue"


Mereka berdua berjalan kesalah satu meja biliar yang kosong. Rio dan cakka mengambil cue (stik yang digunakan untuk memukul(?) bola) nya masing-masing. Memulai permainan mereka.


"gue baik kok.. bukannya gitu. Tapi kemaren bokap ada dirumah. Jadi yaa susah buat keluar deh"


"hah? Tumben banget bokap lo ada dirumah?"


"tau tuh. Tapi ya tetep aja, dia gak punya waktu buat gue sama gabriel"
Cakka menganggukkan kepala lantas meneruskan kegiatannya memukul cueballnya, yap!! mengenai pool ball (target) dan bolanya masuk ke pocket!


"yes!!! Masuk! eh iya ngomongin gabriel. Dia kemana?"


"dia gak ikut. Katanya ada urusan. Tau deh urusan apa. Palingan juga molor dirumah" rio mengangkat bahunya, lalu mengarahkan stik biliarnya dengan penuh konsentrasi. Memukul cueballnya, sedikit mengenai pool ball yang ia incar. Tukk! Sayang bolanya gagal masuk.


"yaaah gagal! Ck" wajah rio berubah kesal. Ia memandang cakka yang sedang menari-nari erotis-,- mengejek rio.


"jayus banget sih lo!!"


"hahaha!! Makannya sering-sering dong kesini. Itung-itung latihan juga. Kayak gue nih! Sekarang udah hebat"


"hebat dari hongkong? Baru masuk satu aja bangga" rio mencibir. Jadilah hari itu dihabiskan rio bermain biliar dengan cakka.

***

Waktu telah menunjukan pukul satu siang. Sudah sekitar 6jam alvin dan ify bermain ditimezone yang berada dikawasan salah satu mall di jakarta. Tawa ify yang lepas seperti saat inilah yang sangat alvin rindukan. Ia sangat rela jika harus berurusan dengan ayah dan mamanya, hanya demi tawa ify seperti ini. Apapun resikonya. Demi kebahagiaan adik semata wayangnya ini, akan ia lakukan.


"fy, kamu capek yah?" wajah alvin sangat cemas kala melihat wajah ify memucat. Matanya terlihat sayu. Tapi tetap saja senyumnya masih tersungging manis dibibir mungilnya.


"enggak kok, aku seneng banget. Aku masih mau main ya kak" ify sedikit memohon pada alvin. walaupun dengan nafas setengah memburu dan bibir yang sedikit membiru.


"kita istirahat dulu ya. Kita ke foodcurt aja, gimana? Kakak lapar nih. Kamu juga lapar kan? Sambil kamu minum obatnya. Okay! :)" jawab alvin dengan tersenyum, walau tak ia pungkiri hatinya ketar-ketir karena cemas. Tangannya sesekali menyeka keringat yang mengalir dipelipis ify. Miris menatap ify yang sepertinya sangat tersiksa. Hanya bermain seperti ini saja sudah membuatnya pucat pasi.

Mereka lantas berjalan kearah foodcurt terdekat. Tangan ify terus saja bergelayut manja dilengan alvin. Membuat alvin sedikit terkekeh dengan sifat manja adiknya.
Sesampainya disana, alvin segera memanggil waitress untuk memesan makanan. Setelah mencatat apa saja yang dipesan alvin, waitress itu segera berlalu.


"mana obat kamu fy?"


"ada kok, ditas" jawab ify menunjuk tas selempangnya.


"kak!"


"why?"


"apa bisa aku hidup tanpa obat ini? Aku capek kalau harus minum obat terus" air bening itu meluncur begitu saja dari mata ify. Selalu saja menyesakkan dada alvin. Tangannya bergerak menghapus buliran air mata dipipi ify dengan lembut.


"denger kakak fy!.. " ify melihat mata kakaknya itu dengan sayu. Menyiratkan bahwa ia memang benar-benar lelah dengan semua ini.


"kamu pasti sembuh. Mau sembuhkan? Untuk itu kamu harus terus minum obat. Kakak tau kamu capek gini terus. Tpi ini juga demi kebaikan kamu. Ngerti?"


"ify ngerti kak :) makasih untuk semuanya" ify tersenyum hangat. Menghapus sisa lelehan air matanya dengan jarinya. Beruntung sekali ia mempunyai kakak seperti alvin.

Semuanya selesai. Ify pun sudah meminum obatnya. Mereka memilih untuk keparkiran mobil mereka dan menuju tempat yang akan mereka kunjungi berikutnya. Sebuah bukit kecil dekat taman.

***

"aaahhh payah lo kka! Katanya udah hebat? Masa kalah sama gue?? :p haha" cakka manyun mendengar ejekan rio. Dasar! Walaupun sudah lama rio tidak bermain biliar tetap saja yang namanya bakat dari lahir emang susah diganggu gugat-,- yaah beginilah akhirnya. Cakka harus menerima kekalahan.


"diem dong yo! Jangan ngumbar gitu" rio hanya menahan tawa melihat ekspresi cakka. Lucu juga mengejek sahabatnya ini terus menerus. tawa rio berhenti karena teringat sesuatu.


"eh kka, gue duluan yaah. Ada urusan nih"


"eh mau kemana yo? Rioo! Yaaah.. Maen ngacir gitu aja! Terus yang bayar sewa nih meja siapa? Masa gue? Asem emang tuh anak. Muka gratisan" cakka mengumpat. Mengucapkan sumpah serapah untuk rio. Tapi walaupun begitu ia tetap menuju kasir untuk membayar.

***

Semilir angin sore berhembus menerpa paras tampan pemuda ini. Belaian angin yang selalu mendamaikan hatinya. Warna jingga mulai menjejak walau tersamarkan langit mendung. Matanya terpejam mencoba meredamkan emosinya sesaat. Mengingat 'hal' itu -tentang mamanya-, seketika menyulut emosinya kembali. Tak ada kata tidak lagi untuk mencegah rekaman masa lalunya berputar diotaknya.

---

'Praaaaang!!!!!'

"apa yang kamu lakukan ma??" bentak seorang pria -tepatnya bapak2- kepada seorang perempuan yang sepertinya istrinya.


"ini semua karena kamu!! Kamu yang sudah membuat saya gila seperti ini! Saya benci kamu tamaa"

'praaang'

Lagi-lagi istri pak tama -bu mily- memecahkan guci disampingnya. Membuat pak tama menggeram lantas menampar pipi istrinya.

Tanpa kedua dewasa ini ketahui. Ada 2 pasang mata yang menatap mereka dengan nanar. Satu diantara kedua anak itu meneteskan air mata. Mereka tak mengerti, mengapa kedua orang tua mereka selalu bertengkar?


"gab! Kenapa mama sama papa bertengkar terus?" anak yang menangis itu bertanya pada anak yang nampaknya lebih besar darinya -gabriel- dengan lirih.


"kakak juga gak tau yo" jawab gabriel seadanya. Ia memang tidak tau apa-apa.
dalam isak tangis sang adik, gabriel hanya bisa mengelus punggung rio. Terus menyaksikan pertengkaran kedua orang tuanya yang belum pantas mereka mengerti.

Mama mereka berlari keluar, lalu disusul dengan kejaran papa mereka dengan berteriak memanggil nama bu mily. Mereka mengikuti kemana orang tuanya berlari. Sampai akhirnya kejadian naas merenggut nyawa mamanya akibat tertabrak truk yang melintas saat mamanya menyebrang didepan mata mereka sendiri. Dilihatnya papa mereka bersimpuh dijalan dengan bersimbah darah karena memangku jasad mama mereka. Saat itu rio dan gabriel hanya bisa diam dengan air mata yang terus mengalir deras. Mulai saat itulah mereka hidup berdua. Tidak dengan papa yang memang selalu sibuk dengan pekerjaannya.

---

Rio memenjamkan matanya. Menetralisir perasaannya yang saat ini begitu kacau. 12 tahun terlewat sejak kejadian naas itu. Selama itu pula rio dan gabriel menyimpan sesaknya kepergian sang mama. Walaupun begitu, mereka berdua selalu bersikap seolah-olah tak pernah merasakan sakitnya kehilangan. Tak dipungkiri, itu malah semakin menyakitkan.

***

Akhirnya alvin dan ify sampai di tujuan mereka. Sebuah bukit dekat taman. Suasana sore dengan semilir angin menerpa kulit mereka.


"aaaahhh seger banget kak"


"seneng gak hari ini fy?" tanya alvin


"seeneeeeeeng banget. Makasih kakak udah mau ngajak aku jalan-jalan. Ini hari yang spesial buat aku" senyum ify terus mengembang. Menggambarkan betapa bahagianya ia hari ini. Semoga saja hari ini akan mewakili hari-hari berikutnya menjadi bahagia.


"syukur deh kalo gitu. em, mau ice cream gk?" alvin menunjuk tukang ice cream yang lumayan jauh dari tempatnya sekarang.


"boleh"


"yaudah kakak kesana dulu. Kamu disini aja. Inget jangan kemana-mana" ify menatap punggung kakaknya yang menjauh.

Beberapa menit alvin meninggalkannya. Membuat ify bosan. Karena itu ify memilih untuk lebih ke sisi bukit, menghirup udara dengan sebanyak-banyaknya.

Melihat kearah langit. Mendung. Rintikan air hujan mulai membasahi bumi. Mengguyur tubuh mungil ify. Dan alvin belum juga terlihat menghampirinya. Ify nyaris menangis disitu. Dirasakannya, tak ada lagi rintikan hujan yang mengguyur tubuhnya. Ia mendongak melihat siapa pemilik kemeja kotak-kotak itu. Mata ify bertemu dengan mata elang dihadapannya. Nyaman. Ia tak pernah seperti ini. Ada yang menggelitik diperutnya. darahnya mendesir. menjalar menghangatkan tubuhnya yang basah itu, Kala memandang mata elang dihadapannya.

'Perasaan apa ini tuhan?' lirihnya dalam hati. Bibir mungilnya sedikit memucat kedinginan.


"em maaf kalo kamu kaget. Tapi kalau aku gak gini kamu bisa tambah kehujanan" ucap pemuda dihapannya seketika membuyarkan lamunannya.


"hah? I..iya gak papa kok" apalagi sekarang? Kenapa jantungnya berpacu tidak normal seperti ini?


"ehm kita ke pondok kecil itu aja yaah! Disini hujannya makin deras" pemuda itu sedikit berteriak takutnya suaranya terdengar samar tidak jelas oleh suara hujan.
Dilihatnya gadis disampingnya mengangguk saja. Setelah itu mereka berdua berjalan tergesa kepondok kecil sebelah barat tidak jauh dari tempatnya tadi.


"parah nih! Hujannya tiba-tiba banget" didengarnya pemuda disampingnya menggerutu kesal. Wajahnya lucu sekali seperti itu. Membuat ify terkekeh pelan.
"makasih ya"


pemuda itu mengerenyit. Tapi sedetik kemudian mengangguk mengerti.


"okay gak papa. Nama kamu siapa sih?"


"alyssa, tapi panggilnya cukup ify. Kalau kamu?" ify menatap mata pemuda itu lagi. Dan perasaan itu kembali muncul. Apa artinya ia memang jatuh cinta pada pemuda ini?
Sama dengan ify, pemuda ini juga merasakan wajahnya memanas ditatap seperti itu oleh ify. Mata beningnya menghanyutkan. Membuatnya nyaman, walaupun baru bertemu.


"aku.. Rio"

***

Alvin memilih berteduh dimobilnya, ditatapnya kantong plastik berisi ice cream untuk adiknya. Wajahnya tak henti-hentinya melihat keluar mobil. Masih hujan. Bagaimana dengan adiknya? Apa ify kehujanan atau tidak?
Perasaannya kacau. Ia tak dapat berpikir jernih, yang ada dipikirannya sekarang hanyalah adik semata wayangnya. Bagaimana jika terjadi apa-apa dengan ify? Apa yang harus ia lakukan?

Dengan nekat dibukanya pintu mobil jazz hitamnya. Berlari menerobos hujan yang kian melebat. Tak peduli dengan tubuhnya yang basah kuyub. Ia berteriak memanggil nama adiknya. Tapi nihil. Tak ada yang menyaut.

"ya tuhan! Kemana dia?"


"ify!!!!!! Kamu dimana??"


"ify!!!!!"


masih tak ada yang menjawab. Ia menyerah, kembali kemobilnya dan mengeluarkan handphonenya. Lalu menekan tombol 'ok' setelah menemukan sebuah nama di phone contak yang ditujunya.

***

Hujan. Kenapa harus hujan disaat sore seperti ini?. Wajahnya ia alihkan kejam dinding yang menggantung dikamarnya. Pukul 3 sore. Ia menghela nafas bosan.


"rio kemana sih? Kenapa belum pulang jam segini?"

Tell me why you’re so hard to forget
Don’t remind me, I’m not over it
Tell me why I can’t seem to face the truth
I’m just a little too not over you


Ringtone lagu a little too not over dari david archuleta mengalihkan perhatian gabriel. ditatapnya I-phone miliknya, tertera nama sahabatnya. Sebelah alisnya terangkat. Tumben, pikirnya.


"hallo vin? Kenapa?"


“...”


"hah? Lo serius?"


“...”


"kenapa bisa??"


“...”


"sekarang lo dimana?"


“...”


"oke gue kesana"

'Klik'

Sambungan terputus. Segera ia sambar jaket kulit hitamnya di gantungan dan sepatu kets coklatnya di rak dekat pintu. Setelah itu ia berlari kebawah dengan sepatu ditangnnya. Sebelumnya mengambil kunci mobil rio di kamar adiknya. Memakai sepatunya dengan terburu-buru, selanjutnya berlari lagi kearah garasi dimana terparkir mobil sport putih adiknya. Lalu gabriel masuk dan memacu mobilnya dengan kecepatan diatas rata2. Wajahnya terlihat cemas. Entah apa yang ia cemaskan. Yang jelas pikirannya sekarang hanya terpusat pada keadaan adik dari sahabatnya. Karena ia menyayangi gadis itu.

***

Akhirnya tersambung! Alvin mengetukkan jari basahnya pada stir mobil. Menunggu orang yang ditujunya mengangkat telponnya.
Klik! Alvin menghela napas ketika telponnya diangkat.

"hallo?"


“...”


"gue kehilangan ify yel!"


“...”


"iya, gue serius!"


“...”


"tadi.. Gue lagi beli ice cream. Dan ify gue tinggal. Pas gue mau balik tiba-tiba hujan. Gue nunggu hujan reda dimobil. Pas gue cari ditempat tadi, ify udah gak ada yel!"


“...”


"gue dibukit deket taman biasa"


“...”


"cepetan yel. Gue tunggu"

Klik.

Sambungan terputus. Hatinya tambah tidak tenang melihat hujan yang bukannya mereda malah tambah deras.

***

Entah sejak kapan suasana hening menyelimuti kedua insan yang baru mengenal satu sama lain ini. Hanya terdengar rintikan hujan yang semakin keras memantul disegala barang yang tersentuh.


"kamu kedinginan yah?" rio bertanya sedikit kikuk kepada ify yang tengah menatapnya dalam. Ah mata itu lagi. Sejak kapan ia menikmati tatapan mata bening gadis ini?. Dan sejak kapan pula perasaan nyaman mulai menyelimuti hatinya melihat senyum gadis ini? Gak salah lagi. Rio.. Jatuh cinta?


"sedikit" sahut ify, tangannya disilangkan dan menggosok-gosok kedua legannya.


"mhh, sorry yah aaku gak ada baju kering. Jaket aku ada dimobil. Mobilnya jauh dari sini lagi. kamu bisa tahan kan?"


"Gak papa lagi yo. Aku bisa tahan kok"

melihat wajah sesal rio, ify tidak tega. Entah sadar atau tidak tangan ify bergerak menggenggam tangan dingin rio. rio menatapnya kaget. Tapi ify tak beerniat sedikitpun melepas genggamannya. Ini.. terlalu nyaman. Mulai saat ini. Ia memantapkan hatinya. Ia memang mencintai rio.

Rio hanya tersenyum melihat kelakuan gadis ini. Menurutnya ify sangat lucu.
Saat inilah dewi amor tengah bekerja menabur benih merah jambu diantara dua insan ini. Mengikat mereka dalam satu buah kata. Cinta. Dengan beribu maknanya.
Terlalu cepat memang. Tapi.. Itulah istimewanya cinta. Tak mengenal waktu.

***

Tangisan bumi berhenti. Waktu tengah bergulir tepat pada pukul 4.30 sore. Langit pekat memuai. Tergatikan dengan jejak warna jingga yang memerah.

Gabriel baru sampai di tempat alvin. Memarkirkan mobilnya tepat disamping mobil alvin. Lalu keluar dengan tergesa menghampiri alvin yang sedang bersandar dikap mobilnya dengan wajah menunduk.

"vin." tepukan pelannya membuat alvin mendongak. Menatapnya nanar. Ia sangat cemas dengan adiknya. Gabriel mengerti itu.


"kita cari sekarang" setelah itu mereka mulai berjalan keatas bukit. Sebelum langit menggelap. Mereka harus sudah menemukan ify.

Ify mendengar suaranya dipanggil. Ia berjalan kepinggir teras pondok itu. Menajamkan pendengarannya. Ia harus memastikan jika namanyalah yang diteriakan.
Sedangkan rio hanya bisa pasrah tangannya ditarik2 ify. Yah sejak tadi ify memang tidak mau melepas genggamannya. Membuat rio sedikit GR, dan menyimpulkan bahwa ify memang menyukainya. Dan memang itu kenyataannya.


"ifyyy!!!!!!!! Kamu dimana?"


"fy!!!!!"
Sekali lagi. Ia mendengar itu. yakin itu memang alvin, ify mulai menyahut.


"aku disini!!!!!!!!!!"

Ify melihat dua orang yang berlari terengah-engah kearah mereka. Ify melepas genggaman tangannya dari rio. Itu membuat rio sedikit kecewa. Lalu ify berlari menghambur kepelukan kakaknya. Dan itulah yang membuat dada rio bergemuruh. Panas mulai menjalar dihatinya. Dadanya sesak.

'Apa yang salah gue kayak gini? Gue emang suka sama ify. Dan wajar aja gue cemburu dia peluk cowok lain' kesal rio dalam hati. Meratapi nasibnya. Baru pertama kalinya jatuh cinta dan dengan sekali kibasan mampu membuat hati rio terasa ditampar. Panas, menyakitkan.

Pandangan rio beralih menatap pemuda disamping pemuda yang dipeluk ify.


"Loh? Gabriel?" diserukan nama kakaknya, membuat pemuda disebrangnya menatapnya.


"eh elo yo. Ngapain disini? Pake hujan-hujanan segala lagi?" Rio meringis menatap tubuhnya yang masih basah.


"panjang ceritanya. Nah elo sendiri kok bisa disini sih yel?"


"oh ini, tadi gue bantu alvin nyari ify"


"ohh gitu toh. Yel sini deh!" gabriel mendekat kearah rio yang melambaikan tangan.


"vin gue ke rio dulu yah" alvin hanya mengangguk. Sedangkan ify masih memeluk
alvin.


"kenapa?"


"eh alvin itu siapa sih?"


"alvin? dia sahabat gue. lo kenapa sih yo? Naksir lo sama dia?"


"hah? Sial lo! Gue masih normal kali"


"siapa tau aja"


Tuk!
sebuah timpukan baju basah mendarat dikepala gabriel. Gabriel menatap sebal kearah rio.

"gak pake nimpuk gue bisa kali yah? eh iya!! Lo udah pake mabil gue. Gue gak mau tau, pokoknya lo harus ganti rugi!"


"dihh, ganti rugi apaan? lagian mobil lo baek-baek aja”


"bensin laahhh!"


"kagak mau. lo kan juga udah pake mobil gue"


Gabriel menghela napas. Iya juga, kalo gitu bisa dibilang impaslaah!
"ekhem yel!"


"apa lagi?"


"alvin itu, siapanya ify sih?"


"oh itu, dia kakaknya. Lo kenapa sih?"


"gitu yaa? Hm" gabriel menatap rio menyelidik.


"lo? Jangan bilang, kalo lo suka samaaaa.. "


"ify cantik yaa? kayaknya gue suka deh sama dia yel" kata rio jujur. Terlalu jujur malah. Dan itu membuat hati gabriel mencelos. Benar dugaannya. Rio memang menyukai orang yang sama dengannya. Apa yang harus ia lakukan sekarang?. Menyerahkan ify pada rio? Tapi mengingat perjuangannya selama ini untuk mendekati ify. Susah sekali. Apa harus segampang itu melepaskan dia? Hanya demi rio?. lupakan!!
Setelah itu mereka pulang kerumah masing2.

***

Kisah ini begitu rumit. Apa sanggup mereka mengatasi cinta segitiganya? Dan apa mereka tau? Bidadari yang mereka perebutkan tengah berjuang melawan maut?

***

Ruang serba putih ini sekarang menjadi tempatnya istirahat. Menjalani hari2nya dengan berbagai obat dan peralatan medis yang dikenakan ditubuhnya. Apa ia sanggup mempertahankan hidupnya? Cintanya?

Alvin menatap adik semata wayangnya yang terbaring lemah dirumah sakit. Beberapa hari yang lalu setelah mereka menghabiskan waktu berdua, kondisi ify drop. yang membuat alvin sangat terpuruk, ify drop karenanya.


"maafin kakak fy" air matanya jatuh. Ia menyesal membiarkan ify terguyur hujan. Ia menyesal meninggalkan ify waktu itu. Ia menyesal karena telah mengajak ify jalan-jalan. Ia menyesali semuanya. Hatinya terus berontak. Harusnya ia saja yang sekarang terbaring lemah didalam sana. Biarlah, biarlah ia yang menanggung sakit ify. Biar ia yang mati digerogoti sel kanker yang terus memakan darahnya.


Sementara itu dikoridor terdapat 2 pasang mata yang menatap alvin sendu. Salah satu dari mereka mengenakan baju pasien rumah sakit ini. Sedangkan yang satunya mendorong kursi roda pemuda itu. hati mereka tentu saja sakit. Apalagi mendengar kenyataan bahwa bidadari mereka tengah sakit. Sakit parah. Leukemia stadium akhir.


"yo.. Dia sama kayak gue" rio melirik gabriel sedih. Tangannya menepuk pundak gabriel.


"gue tau jantung lo pasti kembali sehat yel. Gue yakin lo sembuh" gabriel menatap rio. Tapi apa bisa?

Mengingat rio sangat menyayangi ify, tapi gabriel juga menyayangi ify. Bahkan sudah sejak lama gabriel menyukai ify. Gabriel memutuskan untuk melakukan itu. Yah harus! Biarkan egonya kali ini menguasainya.


"uhukk, uhukk!"


"yel? Lo gak papa?"


"gue gak papa kok. gue.. Boleh minta sesuatu dari lo kan yo?"


"tentu boleh. Lo mau apa?? gue siap ngelakuin apapun demi lo, kalo gue bisa"


"gue minta.. Elo jauhin ify."

Deg.. Apa ini??? Apa maksud gabriel?
Rasa nyeri dihatinya merambat menjadi emosi. Tapi rio cukup tau sikon. Ini bukan saatnya ia bersikap egois. Ini demi kakaknya! Demi gabriel.


"ta.. Tapi, kenapa yel?"


"gue.. udah lama suka sama ify"


Lagi-lagi hantaman keras memukul hatinya. Perih Seperti tercabik-cabik hingga tak berbentuk.

***

Ify tersadar dari komanya. Melihat diruangan itu hanya ada alvin dan gabriel yang duduk di kursi roda dan mengenakan baju pasien sama sepertinya. Tunggu. Ada yang kurang. Rio? Dimana dia?

"kak alvin, kak gabriel?" panggilnya lemah.
Mereka berdua tersenyum senang kearah ify, walaupun kondisinya masih terbilang lemah. Dilihatnya ify seperti mencari-cari sesuatu.


"kenapa fy?"


"rio kak, dia kemana?"


gabriel tersenyum kecut. Alvin melihat perubahan wajah gabriel, lalu menatap ify kembali.


"rio? Katanya dia ada urusan"


"ohh" wajah ify berubah kecewa. Ada yang kurang bila tidak menatap rio. Tidak melihat rio. Itu membuat setengah hatinya kosong.


"udahlah, mungkin nanti rio kesini. Lagian disinikan ada gabriel. ngapain nyari yang gak ada?"

Ify mengangguk kecewa. Yah mungkin benar kata kakaknya. Mungkin saja rio sibuk? Atau sengaja melupakannya?? Ah ify! Jangan berpikiran buruk seperti itu. Rutuknya dalam hati.


"ekhm, fy. Kakak kekantin dulu ya. Yel jaga adek gue"
ify mengangguk.


"sipp! Gak bakal gue biarin adek lo kenapa-napa!" mereka bertos ala mereka.
Melihat alvin yang hilang dibalik pintu. Seketika hening menyelimuti mereka. Bukannya gimana. Tapi ini yang membuat gabriel canggun, karena Ia merasa bersalah pada ify, dengan menjauhkan rio dari ify. Dalam hal ini ia memang jahat. Sangat jahat. Tapi, apa tidak pantas kebahagiaan didapatnya diakhir hidupnya yang seperti ini?.


“em fy, aku mau ngomong jujur sama kamu” ucapan gabriel membuat ify menoleh. Keningnya mengerenyit. Ada yang aneh dari gabriel.


“ya ngomong aja kak”


“aku.. aku..”


“aku?? Aku.. kenapa kak?”


“aku, sayang sama kamu" Mata ify melebar mendengar itu. Apa? Gabriel, suka sama dia? Tapi.. ah sudahlah.


“kakak, gak bohong kan? Gak lagi bercanda kan?” ify terkekeh pelan. Ini terlihat lelucon! Bagaimana mungkin gabriel menykainya? Dan perasaan ify terhadap gabriel tak lebih dari sekedar rasa sayang adik kepada kakaknya, seperti dirinya menyayangi alvin. Dan tak akan bisa lebih.


“enggak fy, aku gak lagi bercanda”
Mata gabriel memandang ify. Ia mencoba berdiri walaupun kakinya masih sedikit lemah. Digenggamnya tangan ify dengan lembut. Sementara ify speechless dibuatnya. ify balas menatap gabriel, mencari kepastian jika ini memang bukan sebuah lelucon.


“aku, udah suka sama kamu sejak lama. Apa kamu gak ngerasain kalo perhatian aku selama ini, Cuma buat kamu sadar. Aku sayang sama kamu fy. Aku suka sama kamu.” Ungkap gabriel dengan mantap. Hatinya lega telah mengungkapkan semuanya. Dan seertinya ia akan segera tenang, jika tuhan mencabut nyawanya sekarang.


“tapi.. aku, aku emang saya sama kakak. Tapi, sayang aku sama kakak cuma sebatas adik dan kakak. Aku gak punya perasaan lebih sama kakak. Maaf” ify menunduk merasa tidak enak dengan gabriel. Ia tau gabriel sakit hati karenanya. Tapi yang namanya perasaan emang gak bisa dibohongi.

Gabriel tersenyum masam. Memang sudah ia duga. Perasaanya bertepuk sebelah tangan. Walaupun hatinya sakit, tapi ia rasanya tidak buruk juga setelah mengungkapkan semua perasaannya.


“oke gak papa, aku ngerti kok fy kenapa kamu nolak aku. Aku yakin dia punya perasaan sama kayak kamu” gabriel tersenyum, tangannya membelai lembut rambut ify. Sedangkan ify menatap gabriel dengan pandangan tak mengerti.


“udh deh fy gak usah sok gak ngerti gitu. Kamu suka kan sama adek kakak?”


“ma.. maksud kakak??” wajah ify memerah.


“ck. Ya siapa lagi kalau bukan rio” pipi ify tambah merah dibuatnya. Dalam hati gabriel terus mensugestinya, ‘relain yel! Lagian hidup lo udah gak lama lagi. Lo pasti bisa ngerelain ify buat rio’

Gabriel memaksakan seulas senyum mengoda. Ada yang sakit dibagan dada kirinya. Apa ini waktunya?


“apaan sih kak iyel, udah ah!!” ify memanyunkan mulutnya.


“uhukk.. uhukk”


“kak, kakak kenapa?”


“uhukk.. uhukk.. uhukk” tangan gabriel sebelah kanan memegang dadanya yang sebelah kiri sementara tangan kirinya menutup mulutnya.


“gak kok fy. Uhukk.. uhukk” ditatapnya tangannya yang pebuh dengan darah dari mulutnya. Tubuh gabriel sedkit merosot kebawah. Kakinya tak mampu lagi menopang tubuh gabriel.


“kak iyel! Kak. Batuk darah. Kak, aku panggilin dokter yah. Dokter!”


“Uhukkk, fy.. uhukk.. kamu pasti akan sembuh. Aku yakin. Sembuh buat rio yaa” kata gabriel terbata-bata. Setelah itu tubuh gabriel ambruk kelantai. Sedangkan ify hanya bisa menangis tak bisa berbuat apa-apa karena kondisinya juga belum pulih. Menapakan kakinya saja ia tak punya tenaga.


“kak alvinn!! Kak alvinnn!!!!!!! Tolong!! Kak iyel tahan kak!!” teriak ify, ia berusaha turun dari kasurnya menghampiri gabriel dengan tertatih. Menghambur memeluk kepala gabriel yang terpejam.

Cklekkk.


“astaga, ify, iyel!!”


“kak alvin, tolong kak gabriel kak”


“yaudah, kamu duduk dulu di kursi roda ya. Biar kakak pindahin gabriel kekasur kamu dulu”

Ify mengangguk sambil terisak.

Mereka berdua lalu keluar setelah alvin memanggil dokter. Menunggu gabriel diluar ruangan.

***

Rio berlari di koridor rumah sakit dengan tergesa. Baru saja ia mendengar kabar jika gabriel drop. Terlihat alvin dan ify didepan ruangan ify, menunggu gabriel. Sempat ragu rio menghampiri mereka, karena disana ada ify. Ah sudahlah. Akhirnya rio memberanikan diri mendekati mereka.


“gimana keadaan gabriel vin?”


“rio?”


“gimana?”


“lagi ditangani dokter”
Rio menghea nafas berat. Dilihatnya Ify menghampirinya. Matanya sembab. Mata rio menatapnya bersalah. seraya menundukan kepalanya. Lega rasanya melihat bidadarinya sudah sadar. Melihat mata ify yang sembab membuat dadanya sakit. Itu adalah hal yang paling ia benci. Rio menggigit bibir bawahnya dengan sekuat tenaga hingga berdarah, sebelum tangan halus itu menghapus darah yang mengalir dibibirnya.


"kamu kemana aja sih yo??" Tangis ify pecah seketika. rio menatap kearah alvin yang memalingkan muka. Tubuh mungilnya memeluknya erat. Sedikit melepas rindu dihati ify. Dibelainya rambut ify dengan ragu. Matanya memejam. Uhh air mata itu. Air mata yang paling dibenci rio.


"jangan nangis fy" ucap rio lirih. Dilepasnya pelukan ify. Menatap mata bening itu. Nyaman. Selalu seperti itu. Lalu dengan jari-jarinya rio menghapus lelehan air mata ify.


"kamu kemana sih yo?"


"maaf. Tadi.. Ada urusan sebentar. Gimana keadaan kamu?"


"aku sakit yo.. Kamu tau?? Hati aku sakit karena kamu" ify kembali menangis. Mengucapkan semua unek-uneknya selama ia sadar. Ia ingin rio mengerti jika ify sangat menyayanginya.


"aku? Aku salah apa sama kamu?"


"jahat! Gak ngerti banget sih" ify manyun. Mengalihkan pandangannya dari rio. Membuat rio terkikik geli. Sementara alvin memandang mereka dengan pandangan tak terbaca. Entah apa maksudnya.

Cklekk.

Ruangan ify terbuka. Disusul dengan keluarnya dokter yang memeriksa gabriel. Rio segera menghampiri dokter itu.


"gimana keadaan gabriel dok?" tanya rio. Ia mengguncangkan tubuh dokter itu kala melihat dokter itu menunduk.


"dok! Jawab dok. Kakak saya gak apa-apa kan??"


"maaf. Kami sudah berusaha. Tapi nampaknya tuhan berkehendak lain. Dengan kata lain, gabriel sudah meninggal"

Jder!!!

Serasa dicambuk berhelai-helai rantai. Rio terduduk lemas, ify menangis memeluk rio dari samping. Alvin hanya menatap kosong kearah pintu ruangan itu. Menatap jasad sahabatnya didalam sana yang terbujur kaku tak bernyawa.


"gak! Gak mungkin dok! Kakak saya gak mungkin meninggal! Dokter yang bener dong!" rio menatap dokter itu dengan sayu, berteriak semampunya. Berharap gabriel akan keluar dari ruangan itu dan berteriak jika semua ini bohong! Tapi tuhan berkata lain. Ini nyata. Ini hidup yang sudah tuhan gariskan. Bagaimanapun caranya. Rio harus bisa menerima kenyataan ini, jika gabriel telah tiada. Satu permintaan gabriel yang belum terkabulkan. Ini pengorbanan demi kebahagiaan adiknya dan juga kebahagiaan gadis yang sangat disayanginya.

***

Hari ini, tepat hari ify dioperasi pencangkokan sumsum tulang belakang. Ditanya siapa yang mendonorkan. Ia gabriel. Orang yang tulus menyayanginya. Seseorang yang sudah ia anggap kakak. Memang dari awal inilah rencana gabriel. Ia tampak semangat sekali setelah melakukan tes sumsum belakang, apakah cocok dengan ify atau tidak. Dan nyatanya? Ternyata cocok 96%.

Rio dan alvin menunggu diruang tunggu. Sudah sekitar 2jam mereka menunggu operasi ify. Membuat dua pemuda tampan ini gelisah.

"aduhh, kok lama sih?" gumam alvin tak tenang.


"udah kak, gue yakin kok ify bakal baik-baik aja"


"semoga deh yo"


Hening, sekali lagi menyelimuti mereka. Tapi tak begitu lama karena alvin kembali membuka suara.

"makasih yo"

rio mengerenyit tak mengerti.

"buat apa?"


"buat pengorbanan kakak lo"


"hhm. Harusnya kakak makasih sama alm gabriel. Bukan sama gue. Gue gak ngelakuin apa pun. Malah gue yang udah buat semuanya jadi kayak gini. Gue emang gak berguna"


"ck. Lo jangan gitu dong yo. Lo berguna kok. Buktinya adek gue gak bisa hidup tanpa lo"


"iya sih, tapi tetep aja gue jahat kak. Gabriel suka ify. Tapi gue gak bisa bantu dia apa-apa karena perasaan gue"


Rio menghela napas berat.
alvin menepuk punggung rio memberi semangat.


"udahlah. Semuanya udah berlalu. Sekarang tinggal nunggu hasil operasinya"
rio mengangguk.


"ah iya vin. Nyokap bokap lo? Kemana?"


"mereka lagi diluar negeri. Tapi secepetnya mereka balik kok setelah semua pekerjaan mereka selesai"


"gitu yaa"


"heem"

Cklekk.

Pintu ruang operasi dibuka dokter. Dokter itu keluar dengan peluh mengucur didahinya.
Alvin dan rio menghampiri dokter itu

"dok! Gimana operasinya?"


"semuanya lancar"


Alvin dan rio sama-sama menghela napas lega. Ini anugerah untuk rio terlebih untuk alvin. Adiknya, adiknya sembuh! Dan mulai saat ini, ify tidak akan hidup bergantung pada obat yang begitu menyiksanya.
Dilihatnya ify masih terbaring didalam ruang rawat.

***

Seminggu berlalu. Gabriel telah dikebumikan. Hari ini ify dan rio hendak mengunjungi makam gabriel, sekedar melepas rindu pada sosok gabriel. Dan ini pertama kalinya ify berkunjung ke makam gabriel.

Semilir angin menemani mereka dalam diam. lantunan do'a-do'a dari mereka berdua terpanjat untuk gabriel. Setelah berdo'a rio mengusap nisan gabriel. Sedangkan ify disampingnya hanya menatap hangat gundukan tanah merah itu.

"yel, gue dateng lagi. Tapi sekarang gue ditemenin bidadari lo nih. Fy"
Ify mengangguk. Berganti posisi dengan rio.


"kak gabriel. Ini ify kak. Kakak masih ingetkan? Aku janji loh kak gak bakal nangis lagi. Aku bakal jagain rio buat kakak. Satu lagi kak. Makasih. Makasih atas pengorbanan kakak buat aku. Makasih kakak udah buat umur aku lebih panjang lagi. Makasih banyak kak. Ify sayang banget sama kakak"


ify mengecup lembut nisan gabriel. Inilah yang hanya ify bisa lakukan. Tidak banyak. Hanya lantunan do'a yang selalu ify panjatkan dalam hati. Dan kecupan dinisan tadi, semoga sayang ify tersampaikan pada gabriel.


"oh iya yel. Gue mau minta sesuatu boleh kan? Ify, dia cewek yang gue sayang. Dan lo tau itu kan yel? Gue pengen dia jadi cewek gue. Gue janji gak akan nyakitin dia yel. Gue janji. Gimana fy?" rio menatap lembut kearah ify. Jantungnya berpacu diatas normal. Tapi sekuat tenaga ia menghilangkan rasa gugupnya. tangannya menggenggam lembut tangan ify seperti pertama kali mereka bertemu.


"aku.. Aku mau. Karena aku juga sayang sama kamu" ify tersenyum manis. Dengan kilat rio mencium pipi ify, setelah itu pura-pura tidak melihat ify yang tengah memerah.
rio tersenyum, lalu membimbing kepala ify untuk mendekap didada bidang rio.

Mereka berdua pamit pada gabriel. Dalam hati mereka yakin, jika gabriel tengah menatap mereka sambil tersenyum. Dan mereka juga yakin. Gabriel memang akan selalu mendampingi mereka. Tentunya dihati.

Tamat.