AND OF A DESTINY
Semanis apapun hidup
Tak akan menutup kemungkinan adanya kepahitan
Pertama semuanya berjalan dengan tenang
Setenang apapun itu tetaplah kan goyah
***
Aku bukanlah orang yang sempurna. Hanya seorang gadis berumur 15 tahun, bernama Alyssa Saufika Umari. Tapi akrabnya disapa ify. Aku hanya anak lemah, cengeng dan pastinya tak cantik. Yah walaupun banyak yang mengatakan kalau aku cantik, tapi tetap saja menurutku aku jelek, aku lemah sangat lemah. Aku adalah seorang putri dari pengusaha kaya Se Asia, tepatnya dari keluarga UMARI Group, aku anak tunggal.
***
Seperti hidup ini
Kita hidup berlimpah harta
Seakan menganggap roda kehidupan ini tak berputar
Seakan berfikir tak akan pernah ada duri yang menancab
***
Mungkin banyak orang yang bilang, aku itu beruntung. Tapi bagiku itu semua tak membuatku bahagia. Satu, hanya satu yang ku mau. Mereka selalu ada untukku, menyayangiku. Sudah itu saja. Uang ?, aku tak menginginkan itu, aku hanya butuh orang tuaku, bukan uang. Tapi mana mungkin, mereka selalu saja sibuk. Mana pernah mereka memikirkan aku, untuk bertemu mereka saja sangat sulit. Padahalkan aku putri mereka, tapi kenapa ?. mungkin mereka memang sudah melupakan aku !. entahlah…
Hangatnya mentari pagi
Menyapaku, membangunkanku
Dari keterhentian waktu beberapa saat lalu
Ia seakan tersenyum
Walau sudah pasti terlihat
Guratan letih, terjama jelas disetiap sapaan sinarnya
Seperti aku…
Aku terbangun karenanya, aku tersenyum menyambut pagi ini, walau berat ku coba paksaan. Aku bergegas mandi, sehabis itu aku turun kelantai bawah tepatnya meja makan. Sepi, itulah kesan pertama ketika ku sampai diambang pintu ruang makan itu. aku terpaku disana, senyumku memudar seketika. Yah seperti biasa tak ada yang berubah, ku kira ketika ku terbangun semuanya akan ada, tapi apa ? huhh memang mustahil. Aku berjalan gontai menuju kursiku, aku sarapan hanya ditemani dengan sendok, garpu, dan piring saja, sama seperti biasanya. Sunyi sekali, mereka keterlaluan membiarkan aku tinggal sendiri seperti ini. Hanya dengan beberapa pembantu. Memuakkan.
***
Hari ini aku hanya terdiam dikasur kamarku, seperti biasa hari ini aku tidak sekolah. Memang sudah rutin seperti ini, jadi tak aneh bukan, hanya saja lelah. Aku lelah, mengapa harus seperti ini ?. Aku hanya bisa menatap nanar gundukan botol-botol putih itu. Aku benci benda itu, mengapa hidupku harus bergantung padanya ?.
Karena bosan aku pun memilih berjalan-jalan di sekitar taman kompleks. Aku tersenyum melihat kupu-kupu yang berwarna-warni berterbangan ditaman itu, begitu lepas. Aku ingin seperti mereka, walau hidupnya singkat tapi mereka masih bisa selepas itu, terbang kesana kemari, mencium aroma setiap bunga yang ia hinggapi. Mereka sangat cantik, begitu indah. Berbeda denganku.
Karena lelah aku memutuskan untuk duduk di bangku taman itu. Mengedarkan pandanganku kesegala arah yang menarik perhatianku. Seperti anak-anak yang sedang bermain bola dengan temannya. Aku iri, mengapa mereka bisa ?, sedangkan aku tidak ?. tak adil. Ekspresi keceriaan dapat jelas terlihat dari raut wajah mereka, berlari dengan lincah tanpa harus takut terjatuh, tawa ria dengan lepasnya mereka hadirkan, sekedar gurauan kecil, saling mengejek dan masih banyak lagi yang mereka lakukan. Itu yang aku mau, aku ingin tertawa selepas itu, tanpa beban. Aku juga ingin berlari selepas mungkin, tanpa harus merasa lelah. Lelah akan takdir hidupku sebenarnya.
***
Tapi lihat apa kita tidak akan menderita suatu saat nanti ?
Ingatlah semuanya akan kembali padanya
Termasuk dengan cara menancabkan duri itu sendiri
Termasuk seperti padaku saat ini
***
Aku menengadah keatas, melihat langit lepas berwarna hitam pekat, kurasa akan turun hujan. Tetes demi tetes air hujan pun terjatuh membasahi bumi ini, dan perlahan rintikan hujan itu berganti menjadi derasan air hujan yang mengerikan. Tapi tidak untuk mereka. Kembali kulihat ke arah depan, mereka begitu bahagia, dapat merasakan kebahagiaan yang tersambut derasan air hujan ini. Tawa lepas mereka sungguh menggemaskan. Sedangkan aku ?. aku menganggap hujan ini hanyalah sekedar gambaran deraian air mataku yang selama ini aku tahan. Aku sakit, sungguh lemah.
Aku masih terduduk dibangku itu, derasnya air hujan telah habis mengguyur tubuhku. Aku tersenyum kecut, menatapnya dengan penuh kesedihan yang mendalam. Cairan kental itu kembali mengalir tanpa pamrih dari hidungku. Tak sopan. Ku usap dengan jemariku yang memutih kedinginan, tapi keluar lagi, ku usap lagi keluar lagi. Aku lelah tuhan. ‘sampai kapan aku bisa bertahan ?, aku sungguh lelah, aku tak kuat’ batinku menjerit. Ku remas kuat kepalaku yang serasa mau meledak ini, mencoba bertahan dan entah sampai kapan aku bertahan seperti ini, menahan sakit yang bisa saja datang dengan tiba-tiba, seperti sekarang. Dan seketika semuanya hitam, gelap pekat.
***
Sinar itu kembali datang, cahaya itu, semuanya menyeruak bebas menyerbuku, uhh silaw sekali. Nampaknya ia sangat ceria hari ini. Aku terbangun, jelas sekali tercium bau obat-obatan yang menyengat. Kulihat kesekelilingku, semuanya serba putih, aku tau pasti ini dimana. Yah rumah sakit.
“huhh” kutarik nafas berat, kembali kuedarkan lagi mata sayuku keseluruh ruangan itu, kulihat disebelahku sahabatku yang sedang tertidur pulas. Kurasa dialah yang menemaniku semalam.
Kuusap rambutnya, aku tersenyum lirih. Akankah aku bisa hidup lebih lama lagi?, ‘aku tidak ingin meninggalkannya tuhan’ batinku menangis. Sunguuh berat meninggalkan dia, Alvin sahabatku. Alvin jonathan sindunata lengkapnya, seorang pria bermata sipit, seorang yang telah menemaniku dari kecil, sangat ramah, dia seperti kakakku sendiri, mungkin saat ini hanya alvinlah keluargaku satu-satunya.
Air mataku menetes, aku menangis? Ku mohon jangan, aku tidak mau dia melihatku seperti ini. Aku tidak mau membuatnya khawatir, sungguh. Kulihat Alvin a terbangun, dengan gerakan cepat kuhapus air mataku, dan mencoba tersenyum. Senyum TERPAKSA.
“hei, kamu sudah bangun ternyata?” sapanya seraya tersenyum. Aku mengangguk lemah dan kembali tersenyum kecil, melihatnya sangat jelas terlihat raut kekhawatiran disitu. Yah aku memang beruntung memiliki sahabat seperti Alvin.
“aku senang kamu sudah sadar, setidaknya mengurangi kekhawatiranku” ucapnya sedikit terkekeh, alvin mengelus puncak kepalaku. Hey tapi kenapa Alvin menunduk?, ah aku tau pasti bila seperti ini, pasti dia menangis! Sesuatu yang sangat aku benci darinya. Menangisi aku.
Aku terdiam, tertunduk. Kurasa air mataku tidak sanggup terbendung lagi, aku menangis, lagi? Alvin merangkulku ke dalam pelukannya, memberi semangat padaku. Yah seperti biasa aku bisa sedikit tenang. Tunggu, kenapa aku kembali mengingatnya?
“kamu jangan menangis fy, aku akan selalu ada untukmu. Tidak seperti dia fy” ucapnya parau. Aku tahu alvin menangis, aku tahu pasti Alvin sedang mencoba meredam gejolak emosi itu, kebencian terhadapnya yang dengan mudah ringannya meningglkan aku dan janji palsunya. Tentu.
Aku terus menangis dalam pelukannya. Semuanya kembali, ingatan itu dengan mudah menyeruak memenuhi ingatanku begitu saja membawaku ke masa itu lagi. Masa terpahit yang aku alami.
***
Tepat 2 tahun lalu dia pergi, entah kemana dan untuk apa. Semuanya begitu saja terjadi, dia menghilang. Dan aku tak tahu itu. Semuanya membuatku sakit, setiap aku mengingatnya rasanya perih, disini. Dihati. Dan semuanya cukup membuatku muak dengan semua ini. Pertama kesibukan orang tuaku yang tidak pernah sedikitpun melihat keberadaanku. Kedua saat semuanya terungkap, apa yang terjadi padaku dan tentang penyakitku ini, semuanya menyeruak begitu saja dalam waktu bersamaan dan ketiga dia menghilang, meninggalkan semuanya, semua kenangan yang pernah aku lalui bersamanya, walau singkat tapi cukup membuat rasa ini ada, menyelimuti seluruh permukaan hati, mengisinya dengan rasa yang aku sendiri tak tahu itu apa, yang aku tau itulah saat2 terindahku bersamanya, saat2 dimana sang dewi amor menyebar panahnya, tepat dihatiku. Rasaku padanya. Cinta. Tapi semuanya dia tinggalkan begitu saja tanpa jejak. Tanpa tahu dengan apa yang kurasa. Kejam.
***
Hari itu aku sedang terduduk dibangku pinggir danau, tempat favoritku bersama Alvin sahabatku, tapi saat itu aku sendiri karena Alvin harus sekolah. Yah seperti biasa, aku harus diam seperti ini, memang bosan, tapi aku tak punya daya menampis semuanya, semua itu terjadi begitu saja, takdir itu yang memilihku untuk hidup seperti ini. Penyakitan.
Kupandang air danau itu, tenang tampak indah dengan terkena biasan mentari pagi, mungkin akan indah untuk orang lain tapi tidak untukku. Semuanya tidak adil, kenapa tuhan memilihku untuk hidup seperti ini? Aku tak mampu tersenyum untuk itu, jangan salahkan aku! Waktu dan takdir yang membuatku seperti ini, bukan kemauanku. Sama sekali bukan.
Kurasakan ada tangan kokoh yang menyeka air mataku, yah aku menangis. Kulihat dia tersenyum, senyum yang mampu melehkan hati siapa saja yang melihatnya, tapi tidak untukku. Semua rasa sakit itu kini berkelebat ria dalam hatiku, aku iri tuhan. Mengapa dia bisa tersenyum selepas itu, tapi aku tidak? Padahal terpancar jelas dari sorot matanya, semua! Semua kisahnya, kisah pilu tentang hidupnya, mata yang sayu, wajah yang pucat, sama sepertiku.
Serentak aku membuang muka, aku hapus sisa lelehan air mataku ini dan hanya mampu memandang kosong batu besar yang ada disampiku. Tak berniat sedikitpun melihatnya, apalagi menatapnya. Sungguh
“kenapa nangis?” tanyanya, membalikan wajahku dengan jarinya, supaya menatapnya. Teduh, yah kesan pertama yang membuat aku nyaman akan tatapannya itu, tatapan yang tajam tersirat kelembutan tersendiri, membuat semuanya teduh, membuat aku terhanyut akan tatapan itu. Oh tidak, jangan biarkan. Tidak boleh
Aku hanya menunduk dan menggeleng lemah, sungguh seorang pria yang, hm sok kenal menurutku. Siapa dia? Entahlah.
“jangan berbohong, kalau tidak ada apa2 kanapa kamu nengis seperti itu?” tanyanya kembali. Oh tuhan sungguh dia ini menyebalkan, moodku benar2 hilang sudah. Ahh
“siapa kamu? Apa pedulimu?” aku mendongak, memberanikan diri menatap manik mata teduhnya, bukan tatapan bersahabat seperti biasanya aku tunjukan, hanya tatapan tajam terkesan sinis memang, yah itu yang aku tunjukan padanya. Tidak kupungkiri tuhan, mahluk ciptaanmu yang satu ini memang…sempurna, yah meski aku tidak tahu dia ini siapa, datang dari mana? Tiba2 muncul begitu saja dihadapanku.
“ah maaf kalau aku mengganggumu, aku hanya tidak mau melihatmu menangis, itu saja” ujarnya, uhh ini anak pura2 polos atau memang kelewat polos sih? Bukan itu maksudku, yang aku mau jawaban mengapa kamu ini tiba2 ada dihadapanku? ? batinku kesal.
“ah sudahlah, terserah kamu saja. Maaf aku harus pulang” desahku padanya, tuhan mengapa sepertinya hatiku tidak rela, tidak mau rasanya harus meninggalkan dia? Hatiku ingin terus bersamanya, meski diriku menolak untuk itu. Ah sudahlah ayo pulang.
“hey tunggu, siapa namamu?” tanyanya mencengkram tanganku, tuhan tangannya sangat lembut, sentuhannya begitu menghangatkan. Ada sesuatu yang dari tadi mengusikku, seperti ada yang menggelitik hatiku, dan aku yakin kini semburat merah jambu itu dengan sukses telah membuat pipiku panas seperti ini. Ah kenapa sih aku?
“namaku?” tanyaku memastikan, kembali kuhadapkan badan mungilku padanya, senyumnya merekah melihat reaksiku, lantas dia mengangguk. Ah semangat sekali dia ini. Tangan kokohnya ternyata masih betah bertengger dipergelangan tanganku. Jujur aku tidak mau melepasnya, tolong jangan lepas.
“Alyssa, Alyssa Saufika Umari lengkapnya. Tapi kamu cukup memanggilku ify” jelasku, aku tersenyum kearahnya, sungguh inilah saat pertamaku tersenyum kembali setelah lama senyuman itu menghilang, setelah semuanya terenggut begitu saja. Yang sukses membuatku terjun ke dalam jurang tak berdasar. Mengerikan bukan?
“nama yang cantik, secantik orangnya” ucapnya terkekeh. Tidak kuduga ternyata orang didepanku ini jago juga menggombal, aku terkekeh pelan, ah lucu juga pria ini.
“ih apaan sih. Tapi makasih juga atas pujiannya. Hhaha” ujarku disela-sela tawaku, aku sadar ternyata masih ada orang yang memperhatikanku, yang peduli padaku, selain Alvin. Setidaknya masih ada seseorang yang mampu mengundang tawaku. Seketika pula semua beban ini serasa terangkat begitu saja dariku, ringan tanpa beban sedikitpun. Ah lega, rasa sesak ini, rasa ganjil dihati ini seakan menghilang sendirinya beriringan dengan tatapan sendu ini, semuanya kembali, aku kembali. Yah meski belum sepenuhnya. Tapi aku yakin dia ini mampu memberiku warna baru dalam hidupku, menunjukan arti dari sebuah keriuhan tawa, memberiku arti sebuah makna kebersamaan, memberiku semuanya. Yah semua
“eh iya, enggk enak ngobrol sambil berdiri gini, ayo duduk lagi” ajaknya membuyarkan semua lamunanku, membuyarkan semua fikiran, kekaguman tersendiriku pada sosoknya ini. Membuyarkanku dari semuanya.
“eh iya, ayo’ ujarku, aku kembali duduk dibangku pinggir danau tadi, bedanya sekarang disampingku ada dia. Entah siapa namanya.
“oh iya, nama kamu siapa?” tanyaku, sembari menyusulnya duduk, ia menatap lurus kedepan, matanya tetap indah meski dilihat dari samping, tapi kenapa? Ada pancaran kesedihan mendalam disana, walaupun sedikit tapi cukup untuk terlihat olehku.
“aku Gabriel, Gabriel Stevent Damanik” jawabnya, dia menengok kearahku, tersenyum. Senyum yang waw, menawan. Sedetik aku sempat mematung, menikmati setiap lekuk paras tampan ciptaan sang maha kuasa ini, lagi-lagi aku terhanyut, terseret kedalam tajamnya tatapan kedua matanya, membawaku kembali kedalam kisah pilunya. Lebih dalam
Walau hanya terkaanku saja, kalau dia ini memang menyimpan sebuah masalah, seseorang yang sangat berkabung. Seseorang yang menurutku sama sepertiku, entah dimana letak kesamaan itu, yang jelas terlihat hanyalah dia yang seperti pantulan bayanganku didepan cermin, bedanya hanya kepintarannya menyembunyikan itu semua. Tidak sama denganku yang terlihat, sangat terlihat jelas bahwa ada kesedihan disini, dihati. Diragaku. Semua jelas bukan? aku sangat lemah, aku hanya mampu menangis dan menangis. Ah berbeda sekali dengannya. Itu pertama yang aku temukan dalam dirinya sebuah arti dari ketegaran hidup mampu menyulap semuanya. Yah semua
***
Aku hanya mengangguk-anggukan kepala saja, mendengar ceritanya, sesekali aku terpaku terbungkam dalam kebisuan luar biasa. Dia ini kuat, sungguh. Aku tidak percaya dengan apa, dan takdir bagaimana yang merengkuhnya, sungguh menyesakka tentunya, coba bandingkan denganku, hanya masalah seperti itu, hanya segelintir takdir seperti itu sudah membuatku terpuruk sedalam ini, apalagi dengan takdir yang dihadapi Gabriel ini tuhan?
***
Takdir
Bukan bagaimana kita menentukan
Tapi bagaimana kita menyikapi
Menjalani dengan rasa ibakah?
Atau sah-sah saja kita berkabung?
Itulah takdir dimana banyak manusia berjuang disana
***
Ingin rasanya aku merengkuhnya, menjamahnya walau tidak mungkin aku dapat menjamahnya, meraihnya? Apalagi itu.
Gabriel, aku kira hanya masalah yang begitu singkat yang menapakinya, tapi ternyata tidak. Masalahnya, ah bukan tapi takdirnya. Yah takdirnya yang berkehendak seperti itu, takdir yang begitu berat untuknya. Lihat dia begitu tegar. Gabriel, seorang pria yang baru aku kenal ini ternyata mempunyai kisah yang jauh begitu buruk dibanding aku, hidup dibumi ini hanya bersama sang nenek dan papa, setelah kepergian sang mama, yang kembali kepangkuannya, membuatnya sempat menderita tentangan mental selama berbulan-bulan lamanya, bukan hanya itu, papanya adalah seorang bisnisman yang memiliki karir melejit didunia pembisnisan, membuatnya kalap dengan penuh ambisi, membuatnya melupakannya disaat Gabriel masih berumur 12 tahun, umur yang masih cukup belia aku rasa. Seumuran itu Gabriel sudah tertimpa masalah, bahkan takdir sekeji itu.
Takdir yang memilihnya, sekali lagi hanya takdir yang mampu menyeretnya masuk kedalamnya, kubangan hidup sang amerta. Semuanya takdir yang berkuasa, kita hanya sebagai pemeran disini, pemeran yang hanya menuruti scenario konyol ini, yah sekuat apapun berusaha untuk keluar dari kubangan takdir ini, maka semakin kuat pula takdir ini mengekang batin kita. Semuanya hanya takdir semata. Sebuah kata yang amat sederhana, simple. Tetapi mampu membuat kita terbang dan jatuh dengan bersamaan, terpuruk akan roda kehidupan nyata ini. Tenggelam, menjadi bangkai. Hanya sebuah mimpi yang dapat menyimpang dari takdir ini, yah hanya angan semu dalam diam. Hanya mimpi, mimpi yang entah kapan akan menjadi nyata. Sebuah realita kehidupan manusia, hanya manusiawi yang terpaut akan takdir yang tertulis diatas matrai sah dari sebuah alunan brantai kekekalan. Abadi
***
Gabriel, seseorang yang sangat berarti untukku saat ini. Semua yang ada pada dirinya, aku suka semua itu. Aku nyaman berada didekatnya, aku damai akan tatapan matanya, aku suka senyumnya, semuanya.
Bukan kisah pilu yang menegangkan seperti sebuah sinetron penantang maut, bukan kisah pilu yang menyedihkan seperti sebuah cerita dalam novel romantis yang terkenal dikalangan remaja kini, bukan pula kisah pilu yang perlu pengorbanan seperti serial drama Juliet-romeo. Ini hanya takdir, sebuah kecenderungan hidup. Sebuah realita kehidupan yang tidak terekam jelas akan akhirnya, ini hanya sebuah jalan, hanya kisah sederhana, kisah pilu seorang Gabriel yang mungkin tidak dapat tergambar dengan bagus, tidak berbentuk, tidak pula bermakna, hanya tersampaikan lewat sebuah takdir tak baik pula, hanya kenangan pahit. Sama sepertiku, kenangan pahit akan kehidupanku, yang sama sepertinya. Tapi aku tetap berjalan dalam kisah ini, dalam skenario yang tersusun rapih oleh sang penguasa segalanya, dalam takdir ini. Tapi dia, Gabriel, dia lari dari semua kisah yang tersurat akan kisahnya, kisah pilunya.
Dia berlari tanpa arah. Entah sekarang dia dimana, aku tidak tahu. Gabriel yang selama ini aku kenal, bukanlah orang pengecut seperti ini. Gabriel yang ku kenal, hanya Gabriel yang kuat, tegar, lembut, yang bernada indah. Seorang pria yang pasrah akan takdir hidupnya. Bukan seperti ini, yang lari dari takdir. Bukan
Gabriel, dia sudah tau akan semua takdirku, takdir yang mengharuskanku memilihnya, memilih hidup dengan sebuah penyakit. Penyakit yang lambat laun akan terus menggerogotiku tanpa ampun.
***
Semua janji yang terucap
Takkan sejalan dengan apa yang terlihat
Hanya sebuah kejanggalan hidup
Berpeluk akan kesendirian yang hampa
Tanpa beban yang tersirat bermakna
Terkekang dalam sebuah keterpaksaan
Bukan sebuah asa yang hilang
Melainkan hanya sebuah takdir memilukan
***
Dulu dia berjanji akan selalu ada untukku, selalu ada disaat aku membutuhkan, tapi apa? Hanya sebuah janji tanpa pembuktian. Itu yang membuatku semakin terpuruk, itu yang membuatku semakin tersungkur kedalam jurang tak berdasar itu. Terjun bebas tanpa pengaman, berakhir dalam kepiluan. Tenggelam ditelan waktu yang beringsut membelenggu jiwaku, sesak yang kian menghimpit memenuhi rongga dadaku, semuanya berbaur, tercampur begitu saja tanpa ekperimen tertentu. Ketika semuanya pergi, menghilang dengan raganya, kenangannya dan rasa ini. Semuanya hilang tidak berjejak, tidak berbekas.
Yah inilah akhir dari sebuah takdir, takdirku tersurat untuk menunjukku kembali kepangkuannya, dimana semua asa itu berasal, dan disinilah semua asa itu bermuara kembali.
Juga dirinya, itulah jalan yang dia pilih, meninggalkan semua takdir tertulis untuknya, meninggalkan sebuah hukum karma darinya, berjalan dijalannya sendiri, menapaki pilihannya sendiri. Entah itu kembali atau mungkin akan menjauh darinya, zat pencipta segalanya yang terbelenggu penuh dalam misteri dimuka bumi ini. Yang aku tahu dia lari, lari dari segelintir takdirnya. Lari dari sederet kenyataan yang menentangnya, yang menjabarkan semua kisah pilunya, takdirnya atas namanya sendiri. Pijakan atas takdir yang dipilihnya sendiri. Terserahlah
Aku, aku telah kembali padanya, meninggalkan semuanya, semua tentangnya, sahabatku, dirinya dan orang tuaku. Yah itu yang terbaik, setidaknya aku kembali kepadanya melalui jalannya, takdirnya bukan takdir ataupun jalanku sendiri. Hanya mengikuti alur skenario kehidupan nyata. Hanya sebuah keterasaan mendalam, sebuah realita kehidupan manusiawi yang nyata tanpa sibakkan mimpi secelahpun. Murni sebuah takdirku takdirnya, takdir tersurat kami.

0 comments :
Post a Comment